
Di era digital, penyebaran berita viral telah mengubah lanskap penyebaran informasi, yang berdampak signifikan pada kohesi sosial serta hubungan antarkelompok.
Yang meskipun platform media sosial telah mendemokratisasi akses informasi, platform tersebut juga memfasilitasi penyebaran misinformasi yang cepat, yang seringkali menimbulkan konsekuensi sosial yang mendalam.
Dampak Berita Viral Terhadap Meningkatnya Konflik Sosial
Dimana penyebaran berita viral secara nyata dapat meningkatkan ketidakpercayaan di antara berbagai kelompok sosial seperti yang dilansir dari https://capesinflight.com/ dengan memanfaatkan misinformasi yang berupaya mempengaruhi persepsi masyarakat dengan dalih palsu.
Maka dengan kampanye berita palsu sering kali mengeksploitasi pemicu emosional dan nuansa halus untuk menghasilkan kontroversi sosial, sehingga memperdalam perpecahan antara kelompok-kelompok dengan keyakinan atau identitas yang berbeda.
Misalnya, misinformasi selama krisis kesehatan, seperti pandemi COVID-19, menggambarkan fenomena itu dengan jelas. yang dimana saat itu terdapat banyak cerita viral yang beredar online tentang asal-usul virus, pencegahan, dan pengobatan tidak terverifikasi, namun menyebar dengan cepat, menciptakan kebingungan dan kecurigaan di antara masyarakat.
Proliferasi informasi palsu itu juga merusak kepercayaan pada sumber yang kredibel, termasuk pemerintah dan otoritas kesehatan, karena individu menjadi semakin skeptis terhadap narasi resmi.
Akibatnya, penyebaran viral berita palsu tidak hanya mendistorsi kenyataan, tetapi juga menumbuhkan iklim kecurigaan dan permusuhan, yang dapat bertahan lama setelah misinformasi awal telah dibantah.
Dengan begitu, erosi kepercayaan jangka panjang dapat menghambat kohesi sosial, sehingga menyulitkan masyarakat untuk bersatu berdasarkan fakta atau tujuan bersama, yang sehingga juga melanggengkan fragmentasi sosial.
Penyebaran Berita Viral Dapat Meningkatkan Ketidakpercayaan Antar Kelompok
Ditambah lagi, berita viral yang tersebar di berbagai platform media sosial juga ikut memainkan peran penting dalam meningkatkan konflik sosial dengan mengintensifkan ketidakstabilan politik dan melegitimasi tindakan kekerasan atau kerusuhan.
Sebagaimana jika misinformasi di media sosial dapat memperburuk ketegangan yang ada dengan menyediakan narasi palsu yang mempolarisasi kelompok dan membenarkan tindakan permusuhan.
Contohnya seperti, selama pemberontakan sipil baru-baru ini, aktivisme digital yang difasilitasi oleh jejaring sosial telah terbukti memperkuat keluhan, yang mengarah pada konfrontasi yang lebih intens dan konflik yang berkepanjangan.
Maka dari itu, penyebaran misinformasi yang bermuatan emosional secara cepat bisa memicu persepsi ancaman dan ketidakadilan, yang seringkali memicu perilaku pembalasan dan polarisasi lebih lanjut.
Selain itu, dampak berita viral juga meluas hingga pergeseran dinamika intrakelompok dan antarkelompok, di mana persepsi ancaman atau viktimisasi diperkuat oleh narasi palsu, sehingga memperdalam perpecahan.
Bahkan eskalasi itu juga sangat berbahaya sebab terjadi secara langsung (real-time), dengan misinformasi menyebar lebih cepat daripada informasi korektif, sehingga sulit untuk meredakan konflik setelah meluas secara online.
Oleh karena demikian, peran media sosial dalam proses itu menggarisbawahi kapasitasnya tidak hanya untuk menginformasikan, namun juga untuk mengobarkan, mengubah ruang digital menjadi medan pertempuran bagi konflik ideologis.
Peran Media Sosial Dalam Mempercepat Penyebaran Berita Viral Ikut Meningkatkan Konflik Sosial
Terlebih lagi percepatan penyebaran berita viral terkait erat dengan fitur teknologi dan algoritmik platform media sosial.
Sebagaimana berdasarkan sebuah studi tentang misinformasi kesehatan mengungkapkan tingginya prevalensi konten palsu terkait vaksin dan penyakit menular, yang seringkali mendapatkan popularitas karena sifatnya yang sensasional.
Dimana algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna cenderung mendukung konten ekstrem atau kontroversial yang memicu reaksi emosional yang kuat seperti kemarahan atau amarah, sehingga memperkuat jangkauan misinformasi viral.
Hal itu jua dapat menciptakan lingkaran umpan balik di mana konten provokatif dipromosikan secara lebih agresif, yang semakin mengakar misinformasi dalam komunitas online.
Selama dua dekade terakhir, perusahaan media sosial telah mengembangkan kebijakan moderasi konten dan teknik kurasi umpan, namun perubahan itu juga belum sepenuhnya menghentikan penyebaran cepat berita palsu yang viral.
Maka dengan kemudahan penyebaran misinformasi, dikombinasikan dengan penguatan algoritmik, dapat mengakibatkan penyebaran berita viral yang cepat, seringkali melampaui upaya pengecekan fakta.
Bahkan akselerasi itu juga tidak hanya mengintensifkan dampak informasi palsu, tetapi juga mempersulit upaya pengendalian penyebarannya, yang sehingga memperburuk perpecahan dan konflik sosial.
Faktor-Faktor Yang Memperparah Perpecahan Sosial Akibat Berita Viral
Disisi lain, terdapat beberapa faktor yang melekat pada sifat berita viral dan mekanisme platform media sosial berperan dalam memperburuk perpecahan sosial yang sudah ada.
Salah satu faktor signifikan adalah maraknya berbagai bentuk konten yang menyesatkan atau dimanipulasi, yang dapat mengambil berbagai bentuk penipuan.
Hal itu termasuk satir atau parodi yang disalah artikan sebagai fakta, dimana hubungan palsu yang menghubungkan peristiwa atau konsep yang tidak terkait, maka kebohongan yang disajikan sebagai kebenaran, konteks palsu yang mendistorsi makna konten asli, sementara konten palsu yang menyamar sebagai gambar atau video asli yang dimanipulasi, dan cerita yang sepenuhnya dibuat-buat yang dirancang untuk menipu.
Yang dimana masing-masing bentuk misinformasi itu berperan dalam memperdalam perpecahan dengan memperkuat stereotip, memicu prasangka, atau menyebarkan teori konspirasi.
Seperti halnya, koneksi palsu dapat menghubungkan kelompok minoritas dengan aktivitas kriminal, sehingga memicu permusuhan, sedangkan konteks palsu dapat mendistorsi peristiwa politik atau sosial, sehingga mempersulit rekonsiliasi.
Maka dengan kemudahan membuat dan mendistribusikan konten semacam itu secara online akan memungkinkan pelaku kejahatan untuk menyebarkan perpecahan dengan upaya minimal.
Bahkan paktik manipulatif tersebut juga mengeksploitasi kerentanan emosional dan bias kognitif, mengarahkan khalayak untuk menerima narasi palsu yang memperkuat keyakinan mereka yang sudah ada sebelumnya, sehingga mengintensifkan polarisasi masyarakat.
Dengan demikian, manipulasi itu berkontribusi signifikan terhadap fragmentasi sosial yang dapat dipicu oleh berita viral, terutama ketika konten tersebut mendapatkan daya tarik yang luas sebelum dapat dievaluasi secara kritis atau dibantah.